Beberapa waktu lalu (7/11), harian The Jakarta Post menggiring opini pembaca seputar adzan di masjid-masjid dengan menggunakan pengeras suara (loud speaker). Dengan topik “Letter: Loudspeakers on Mosques”, pembaca diundang untuk meresponnya di kolom semacam surat pembaca.
Sebagai prolog, harian berbahasa Inggris itu mengusung wacana: pemerintah berencana mengatur adzan di masjid dengan perbandingan satu muadzin untuk 30 masjid. Muadzinnya yang dipilih adalah yang memiliki suara indah dan enak didengar.
Wacana untuk melakukan penyeragaman adzan, pernah digulirkan Pemerintah Mesir yang hendak menerapkan kebijakan baru aturan adzan di Kota Kairo, pada 2007. Dengan kebijakan baru ini, setiap waktu shalat tiba, suara adzan dipusatkan pada satu muadzin saja yang disambungkan ke 4.000 pengeras suara yang ada di masjid-masjid besar di kota Kairo.
Alasan kebijakan itu dibuat, karena kabarnya banyaknya keluhan terhadap suara adzan yang saling bersahut-sahutan dari berbagai masjid ketika waktu shalat tiba, dengan selisih waktu yang sedikit berbeda-beda, sehingga terdengar bising.
Hal itu mendorong Menteri Wakaf Mesir Mahmud Zaqzuq menandatangi kontrak untuk menyediakan sekitar 4.000 pesawat penerima agar adzan bisa dikumandangkan dalam waktu yang sama oleh masjid yang berbeda-beda.
Di Mesir, rencana untuk sentralisasi kumandang adzan sebenarnya sudah dibicarakan sejak 2004 lalu, tapi proyek sentralisasi itu mendapat perlawanan dari kalangan ulama, sehingga pelaksanaannya terhambat. Tak terlaksana. Mereka yang menyampaikan keluhan, kebanyakan warga yang tinggal di dekat masjid.
Sebuah komite kemudian dibentuk untuk mempelajari keluhan itu dan membuat proyek sentralisasi adzan, termasuk studi mengenai aspek teknisnya.
Sebagai catatan, kementerian agama di Mesir saat ini bertanggung jawab atas sekitar 90 ribu masjid dan mushalla-mushalla yang tersebar di seluruh Mesir. Sekitar 4.000 masjid berada di wilayah Kairo Raya yang akan menjadi target pertama dari kebijakan ini.
Rencananya, pemerintah Mesir akan mengumumkan muazin bersuara indah untuk dipilih saat mengumandangkan azan.
Dengan cara itulah, kaum liberal dan Islamphobi di Indonesia hendak meniru kebijakan pemerintah Mesir, perihal aturan adzan. Atas dalih yang dibuat-buat, mereka menuduh, seruan adzan dianggap pengganggu tidur, mengusik orang sakit, orang-orang jompo, balita, dan turis yang melancong.
Kebijakan itu, sebetulnya langkah awal untuk bertindak lebih jauh, yakni hendak melarang masjid-masjid mengumandangkan adzan. Setidaknya, ada beberapa negara yang telah memberlakukan larangan adzan karena alasan gangguan kenyamanan.
Di selatan benua Afrika, misalnya. Mahkamah Agung Mauritius memerintahkan otoritas kota Quatre-Bornes agar melarang Masjid Hidayat Al-Islam menggunakan pengeras suara saat mengumandangkan adzan. Larangan itu dikeluarkan (akhir Maret 2007), setelah salah seorang warga mengajukan gugatan hukum, karena merasa terganggu dengan suara muadzin saat waktu shalat tiba.
Yang menarik, protes atas larangan itu, bukan hanya dilakukan warga Muslim, tapi juga non Muslim.
Di Azerbaijan, negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim, juga mengeluarkan larangan adzan dengan pengeras suara (23/5/2007). Kemudian di Maroko, seorang menteri Partai Sosialis Progresif, Nouzha Skalli mengusulkan larangan adzan Subuh dengan dalih agar tidak mengganggu turis. Di Eropa, SVP — parlemen Swiss (Partai Rakyat Swiss) bersama Partai Kristen ultra konservatif, sejak 2008, gencar mengkampanyekan anti-menara masjid.
Itu artinya, sama sama saja melarang kumandang adzan. Saat ini, ada sekitar 35.000 muslim di Swiss yang bertahun-tahun terus memperjuangkan agar agama Islam diakui sebagai agama resmi.
Belum lama, zionis Israel juga memberlakukan aturan, tidak hanya larangan shalat di Masjid al-Aqsha bagi warga al-Quds dan Muslim Arab yang berada di Palestina, melainkan juga melarang adzan.
Jauh sebelumnya, tahun 1930 dan 1940-an, Turki pernah menerapkan larangan adzan dan mengganti seruan adzan dari bahasa Arab kedalam bahasa Turki, bahkan mengubah masjid menjadi museum.
“Bagi saya, adzan itu bentuk syiar Islam, dan menandakan seseorang berada di negeri Muslim. Yang merasa terganggu dengan adzan, cari saja komplek perumahan yang tidak ada masjidnya. Gitu aja kok repot. Belum lama saya ke Mesir, nyatanya, tak ada adzan yang dibatasi kok,” ujar dai kondang Ustadz Subki al Bughuri kepada Sabili.
Benarkah kumandang adzan di masjid-masjid sebagai pengganggu? Ternyata tidak. Buktinya, Tatiana, Gadis Slowakia terbuka hatinya setelah mendengar suara adzan saat ia berkunjung ke Kairo, Mesir (7 September 2008). Tatiana adalah salah satu umat Kristiani yang terpikat suara adzan, lalu memutuskan untuk menjadi seorang Muslimah.
“Ketika mendengar suara adzan, jujur saja, saya merasakan getaran-getaran aneh dalam hati. Ketika itu saya seakan terhipnotis dan tak mendengar suara lain kecuali suara yang berkumandang melalui menara masjid itu. Tak berapa lama saya pun bersyahadah,” akunya.
Aneh, jika adzan dibilang pengganggu, dan membuat bising orang yang malas bangun pagi. Seharusnya umat Islam bangga, karena agama ini mengajarkan kedisiplinan. Wacana satu muazin untuk 30 masjid via stasiun radio pemerintah adalah mustahil dan terlampau mengada-ngada. ■
Allah swt berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al Zalzalah: 7)
SUMBER : KAWASAN PECINTA ALLAH DAN RASULL NYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar