Selasa, 27 Oktober 2009

Dampak Komunikasi Media Massa dan Media Elektronik

Saat ini informasi sudah menjadi kebutuhan hidup manusia yang tak pernah lepas dari kesehariannya. Manusia sebagai makhluk sosial tentu akan terus berhubungan dengan manusia lain. Dengan perkembangan budaya dan peradaban manusia yang pesat ini, menuntut kita untuk terus mengaktualisasikan diri. Bertukar informasi sebagai bentuk perwujudan komunikasi mutlak diperlukan oleh setiap manusia.
Akses untuk memperoleh informasi dewasa ini sudah sangat mudah. Arus informasi terus mengalir secara global melewati batas ruang dan waktu. Saat ini kita dapat melihat dan mendapatkan informasi secara cepat bahkan langsung dari tempat kejadian. Perkembangan teknologi yang sudah sedemikian maju mendukung hal ini. Arus informasi hadir melalui beragam media, cetak maupun elektronik. Media massa berperan sebagai institusi yang menyediakan beragam informasi bagi khalayak.
Kebutuhan pada media massa memiliki pengaruh, seperti dijelaskan oleh Steven M. Chaffe (Dalam Wilhoit dan Harold de Bock, 1980:78) menjelaskan membatasi efek hanya selama berkaitan dengan pesan media, akan mengesampingkan banyak sekali pengaruh media massa. Kita cenderung melihat efek media massa, baik yang berkaitan dengan pesan maupun dengan media itu sendiri.
Jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa, penerimaan informasi, perubahan perasaan atau sikap, dan perubahan perilaku, denga istilah lain perubahan kognitif, afektif, dan behavioral.
Komunikasi ada dimana-mana; di rumah, di kampus, di pasar, di mesjid, di mana saja. Sebagian besar kehidupan kita dihabiskan untuk berkomunikasi, dan bahkan komunikasi yang dilakukan menentukan kualitas kehidupan kita dan atau masyarakat.
Dengan komunikasi akan membentuk kesalingpengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan dan pengalaman, dan bahkan membangun serta melestarikan sebuah peradaban. Namun dengan komunikasi pula kita mampu menciptakan kondisi yang kontradiktif dengan kondisi di atas. Begitu pentingnya komunikasi bagi kita, begitu akrabnya ia dengan kita, sampai-sampai kita merasa tidak perlu lagi mempelajarinya lebih jauh dan dalam lagi. Tentu saja lintasan pemikiran seperti itu merupakan kekeliruan yang fatal, sebab sesungguhnya dengan komunikasi yang dilakukan oleh seseorang (individu) atau masyarakat, akan mempunyai efek sangat besar bagi kekinian dan masa depan individu atau masyarakat tersebut.
Karakter komunikasi (ilmu) –semenjak lahirnya, telah menjadi kebutuhan manusia di dalam mempertahankan hidup bermasyarakat. Tanpa komunikasi, tidak mungkin suatu individu/masyarakat dapat menyetakan idea, cita-cita, kehendak, dan perasaan terhadap individu/masyarakat yang lain (Sumarno, 1995)
Komunikasi adalah jiwanya interaksi sosial, demikian kata Laswell. Ebiquitas (sifatnya yang ada dimana-mana) komunikasi telah menjadikannya menarik untuk dikaji dalam perspektif yang komprehensif, apalagi bila dikaitkan dengan sosial-budaya. Ada dua hal penting yang berkaitan antara komunikasi dengan hakikat kemanusiaan; pertama, komunikasi sangat esensial bagi pertumbuhan kepribadian manusia; kedua, komunikasi sangat erat kaitannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran manusia.
Bila dikaji lebih jauh lagi, dua hal di atas akan sangat berpengaruh (signifikan) terhadap perkembangan dan kesadaran suatu kelompok masyarakat, sebab pada hakikatnya individu dengan masyarakat itu tidak bisa dipisahkan. Menurut Al-Syahid Murtadha Muthahari, masyarakat itu homogen. Beliau menyatakan bahwa sudah fitrahnya manusia untuk hidup bermasyarakat sehingga secara naluriah manusia pasti bermasyarakat dimanapun kapanpun. Oleh sebab itu pada hakikatnya manusia itu satu, tidak ada pengkutuban / perbedaan di dalamnya. Manusia merupakan spesies tunggal, maka masyarakat-masyarakat manusia pun mempunyai sifat, wujud, dan hakikat yang sama. Pluralisme yang ada, menurutnya karena kesalahan dalam memandang masyarakat dan manusia sebagai suatu bentuk duniawi an sich. Padahal menurutnya, Al-Qur’an pun sudah memberitakan bahwa pada dasarnya agama yang diturunkan Allah kepada banyak nabi dan masyarakat adalah tetap satu tidak berubah-ubah (QS. 42;13) yang berbeda hanya terletak pada aturan-aturan tertentu. Sehingga agama yang satu itu baru bisa dijalankan oleh manusia yang satu sebagai spesies tunggal. Individu itu adalah unsur pembentuk masyarakat, maka masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang satu itu pada hakikatnya merupakan satu spesies tunggal. Masyarakat manusia sebagai suatu entitas objektif, mencerminkan suatu spesies tunggal, bukan spesies kemajemukan jenis. (Muthahhari, 1985;47-49). Jadi, peran komunikasi dalam pembentukan/pertumbuhan kepribadian manusia akan juga berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian masyarakat itu sendiri. Selain itu, perilaku dan pengelaman kesadaran manusia sebagai individu-individu yang dibangun di atas pondasi komunikasi, tentunya juga akan serta merta mempengaruhi perilaku dan kesadaran manusia sebagai warga masyarakat.

Seperti yang sudah digambarkan pada entri sebelumnya mengenai penggunaan emoticon/smiley sebagai sarana ekspresi emosi seseorang dalam komunikasi tertulis — dalam hal ini melalui media elektronik, karena sejauh pengetahuan saya umumnya pembicaraan melalui surat jarang mengenal emoticon — saya justru jadi bertanya-tanya sendiri.

Kalau kita keheranan melihat seseorang yang biasanya menulis dengan datar tanpa emoticon (no offence, tidak maksud menyinggung) tiba-tiba merubah tekniknya tersebut plus menambah variasi emoticon yang digunakan, ibaratnya seperti orang mahal senyum yang tiba-tiba terlihat ceria, maka sebenarnya media apa yang lebih efektif untuk berkomunikasi?

Maksud saya, bukan soal smiley-nya. Maksud saya, bukan soal emoticon abuse-nya. Yang saya maksud itu soal proses penyampaian ide-idenya.

Kalau dalam proses interaksi sosial di dunia nyata, kita bertemu langsung dengan sang lawan bicara. Kita berada di hadapannya dan dia berada di hadapan kita. Kalau pembicaraan berlangsung dengan wajar, maka minimal terjadi satu kali kontak mata — prediksi kasar untuk yang berlangsung dengan wajar, karena saya rasa satu kali adalah jumlah sangat minimum.

Dengan kondisi yang semacam itu, komunikasi langsung di dunia nyata jelas menggambarkan kondisi si pembicara. Misalnya kalau lagi mengobrol, akan kelihatan bagaimana reaksi sewajarnya dari seseorang kalau diberikan topik tertentu. Jika diberikan informasi yang mengejutkan, maka kemungkinan orang itu akan merespon dengan ‘reaksi terkejut’ sebagaimana yang biasa ditunjukkan olehnya. Kalau orangnya memang heboh, maka dia akan terkejut dengan heboh pula. Kalau orangnya kaku, bisa jadi dia hanya manggut-manggut saja.

Jadi intinya reaksi dari aksi yang diberikan akan terjadi secara alamiah dalam sebuah komunikasi langsung.

Sebaliknya, komunikasi melalui media elektronik bisa jadi berlangsung berbeda. Pembicara dengan lawan bicaranya tidak harus bertemu langsung. Dengan begitu tidak ada kontak mata; paling banter hanya memandang foto dari masing-masing pembicara — itu pun kalau ada.

Oleh karena itu, komunikasi lewat media elektronik — sebut saja internet — tidak bisa benar-benar langsung menggambarkan kondisi dari pembicara dan lawan bicaranya. Kalau sedang mengobrol lewat Yahoo! Messenger, misalnya, pasti terdapat gap antara satu pembicaraan dengan pembicaraan lainnya. Dan gap itu dengan sendirinya memberikan lawan bicara untuk berpikir lebih dalam sebelum merespon si pembicara. Jadi tidak heran jika beberapa orang yang bisa kelihatan lebih bagus di internet — misalnya saya — karena dia bisa berpikir lebih tenang dibanding ketika berinteraksi di dunia nyata.

Media elektronika sebagai bagian dari media komunikasi saat ini sudah tidak bisa dihilangkan keberadaannya. Media ini sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia terutama dalam mengisi aktivitas kesehariannya, dan tidak hanya dilakukan pada saat untuk mengisi waktu luang, melainkan jugadi saat-sat melakukan pekerjaan. Penggunanya tidak hanya orang dewasa, bahwa anak-anak juga memanfaatkan keberadaannya. Bahkan dibandingkan media cetak seperti, surat kabar, majalah, leaflet, maka media elektronika ini jauh lebih banyak penggunanya. Beberapa alasan orang menggunakan media elektronik, yaitu: media ini bisa memberikan informasi secara cepat, karena sifatnya yang audio-visual memudahkan orang memahami informasi yang diberikan baik secara langsung di saat kejadian maupun di saat mengerjakan aktivitas lain. Karena kemudahannya inilah, maka pengguna media elektronik semakin banyak.

Masalahnya adalah informasi yang diberikan sangat beragam, dan penggunanya juga beragam. Bila penggunanya hanya sekelompok orang saja, maka dampaknya tidak membahayakan, namun bila penontonnya adalah seluruh warga masyarakat sebagai bagian suatu bangsa, maka efeknya media ini akan mewarnai seluruh sudut dan sendi kehidupan bangsa, dan termasuk didalamnya adalah kepribadian bangsa. Bila pada era awal tahun 1960-an, program dan saluran televisi misalnya jumlahnya hanya sedikit, maka program-program tayangannya bisa dikontrol. Untuk tahun 2000-an ini, jumlah saluran kian banyak dan jenis program juga sangat bervariasi. Tidak dapat dibendungnya kompetisi antar televisi dalam perlombaan tayangan agar disukai oleh penonton, menjadikan dilemma akan keberadaan media elektronik ini semakin kuat. Televisi yang menayangkan berita, film, dan tayangan yang tidak mencerminkan budaya negeri akan memberikan efek pada masyarakat. Kalau efek yang ditimbulkan banyak yang positif akibatnya tidak masalah, namun apabila tayangan itu memberikan dampak negatif, maka yang terjadi adalah media menjadi “siluman” yang bisa menghancurkan jiwa dan kepribadian individu seluruh negeri, atau dlam tataran komunal adalah kepribadian kebangsaan ini. .

SUMBER : - SURYANTO FAK PSIKOLOGI UNAIR

- BLOG ADITYA DWI JULIAN

- WARTA WARGA MUHAMMAD WILDAN

- FU’ADZ AL-GHARUTY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar